Oleh: Anas Anshari
Banyak orang beranggapan dan berpendapat, hidup petani tebu bak semanis rasa gula. Anggapan ini rasanya tak mustahil, bila merujuk pasokan tebu sebagai bahan baku ke pabrik gula, mayoritas milik petani. Namun kenyataannya tidak demikian, seolah petani menjadi obyek "perahan" dari kebijakan pemerintah. Lihat saja, kebijakan tata niaga gula yang berlaku selama ini.
Dalam tata niaga gula itu, investor lah yang sangat diuntungkan. Bagaimana tidak, fluktuasi harga gula di pasaran, juga berpeluang besar dimainkan oleh para investor. Seperti saat harga gula tinggi di pasaran, pada saat itu petani tidak memiliki persediaan, sehingga petani tetap membeli gula dengan harga tinggi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ini sangat menyakitkan bagi kami sebagai petani tebu, kami tidak merasakan manisnya harga gula yang melambung. Di satu sisi harga gula meroket, petani sibuk dengan rendemen rendah. Di sisi lain, bila harga turun, rendemen mulai merangkak naik. Ini kenyataan yang terjadi pada petani, yang juga penulis alami selama bertahun-tahun. Justru mereka, para investor dan tengkulak yang bisa merasakan manisnya gula petani tebu.
Selain itu, tata niaga gula di Indonesia tidak mampu menjaga stabilitas harga gula dalam negeri. Bahkan, aturan dalam tata niaga tersebut terkesan merugikan petani tebu. Karenanya, pantas jika kebijakan tata niaga gula harus ditinjau ulang, apakah benar-benar bermanfaat bagi petani tebu, dan apakah mampu menjaga pasokan dan stabilitas dalam negeri.
Lebih-lebih, kebijakan impor gula yang seolah-olah pemerintah terlalu terburu-buru dalam memutuskannya. Padahal, impor gula tersebut bukanlah jaminan menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gula secara nasional. Dengan kebijakan ini, gula nasional justru "dipaksa" kalah di pasaran karena harga gula impor jauh lebih rendah, meski kualitas gula nasional jauh lebih baik.
Kesan tidak berpihak pada kesejahteraan petani inilah, pada akhirnya petani enggan memperluas lahan tanamnya. Malah, petani pun beranggapan, ketimbang rugi, mereka memperkecil areal tanam tebunya. Meski pemerintah kerap mendengung-dengungkan agar petani lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi gula.
Sejatinya, pemeritah dalam mengambil kebijakan, harus selalu mengedepankan kesejahteraan petani. Stabilitas harga dasar gula, perlu diputuskan sendiri oleh pemerintah, dengan menutup peran mereka yang bisa mempermainkan harga gula. Dengan bahasa sederhana, pemerintah dan petani lah yang memutuskan harga dasar gula. Jika ini dilakukan, bukan mustahil, petani akan terus berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pasokan bahan baku ke pabrik gula, ibarat kerangka simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antara petani dan pemerintah.
Impor Perburuk Harga Gula
Harga gula yang merosot tajam di berbagai daerah, termasuk di Jatim, ini dinilai sebagai imbas dari adanya kebijakan impor gula yang ditetapkan pemerintah pusat. Terlebih, gula masuk ke dalam negeri pada saat musim giling atau panen.
Ini jelas membuat petani kian merana. Pendapatan hasil gula yang dinikmati petani tidak seimbang dengan usaha produksi yang dilakukannya, apalagi di saat cuaca tak menentu seperti belakangan ini. Petani mengeluarkan biaya cukup besar untuk perawatan dan pencegahan hama pada tanaman tebu, sehingga petani merugi di saat masa panen. Setidaknya, pemerintah melindungi petani, ketimbang importir.
Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa hari terakhir, harga gula pasir lokal di pasar tradisional mengalami penurunan sangat tajam. Contoh beberapa hari lalu, padogan gula di PG Tjoekir bisa mendapatkan gula pasir dari DO 10 persen pada kisaran Rp 8.100 hingga Rp 8.500. Dan saat ini per kilo turun menjadi Rp 7.450. Harga yang cenderung terjun bebas ini membuat para padogan DO 10 persen harus was-was dan selalu mengontrol harga dan tak berani menyerok gula terlalu banyak.
Boleh-boleh saja dan tidak salah jika kebijakan impor gula diberlakukan oleh pemerintah. Tapi harus pada saat yang tepat, yakni di saat keberadaan gula dalam negeri pada kondisi benar-benar kritis dan langka di pasaran. Karenanya, pemerintah harus jeli dalam menetapkannya, kapan harus mengimpor gula, dan kapan tidak mengimpor.
Selain itu, pemerintah juga harus mengawasi pasar, supaya tidak ada penekanann harga dari tengkulak (investor). Sebab, buka rahasia umum lagi, di saat masa giling, petani mendapat tekanan untuk menjual gula produksinya dengan harga murah di bawah standar pasar. Mekanisme inilah ditambah kondisi pasar saat ini, petani akan terus makin merana dan semakin tidak bisa merasakan manisnya harga gula.
Kita masih harus banyak belajar pada sejarah, saat masa kolonial Belanda, pabrik gula khususnya di Jawa, pernah menjadi sektor ekonomi andalan dan sangat menguntungkan. Dan bisa memenuhi kebutuhan gula nasional, dan mendominasi pasaran gula di dunia.
Dan sungguh sangat disayangkan, jika sekarang, negeri tercinta Indonesia yang "gemah ripah loh jinawi" ini harus menjadi pengimpor gula. Akankah para petani mampu membangkitkan industri gula di tanah air ?. Kita tunggu saja.
Post a Comment