Oleh : Nur Kholis Ghufron *)
Kita sering tidak menyadari arti seseorang ketika dia hadir, atau kita memang tidak mengenal dan tidak mau mengenalnya. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak orang yang pada awalnya membenci sesuatu atau seseorang, pada waktu lain dibuat terbalik 180 derajat, setelah mengenalnya dengan baik.
Investor, ya investor. Satu kata yang tak asing bagi petani tebu, karena ia adalah orang yang membeli gula 90% petani untuk didistribusikan kepada pedagang gula ke seantero negeri ini, bahkan mungkin suatu saat nanti bisa seperti Thailand yang produksinya surplus mengekspor ke negara lain. Kadangkala investor mendapat julukan yang miring karena permintaan jatah sekian persen (sesuai negosiasi dua belah pihak) atas dana talangan yang digelontorkan untuk menyerap gula petani. Kalau dihitung-hitung pakai kalkulator, memang kita sering bergumam dalam hari, banyak amat mitanya investor, nggak sibuk menanam tebu tapi minta sekian persen. Tapi kalau kita telaah lebih mendalam, sebenarnya kita para petani juga untung. Pakai bahasa "mistic corporate", kita tak sia-sia memberi mereka sekian persen karena yang kita dapatkan justru lebih banyak. Kok bisa… mari kita telaah.
Investor berperan sebagai distributor gula petani menuju konsumen. Distribusi adalah pondasi utama untuk mencapai harga puncak (peak matured price), kalau distribusi bisa memenuhi permintaan di daerah yang jauh dari sumber produksi dengan harga tinggi, maka stok di sumber produksi akan terserap yang berdampak langsung mengkontrol dan mengkatrol (lift-up) harga lokal, yang pada gilirannya pada tempo tertentu pasar jauh disuplai tadi akan jenuh dengan sendirinya, berdampak terkoreksinya harga ke harga yang lebih realistis (baca: terjangkau).
Kalau distribusi dalam model ini dihapus, diganti dengan mengandalkan petani untuk menjual sendiri gula 90% mereka, dikhawatirkan ini akan memicu penumpukan yang kontinyu (continuous pile-up) di sekitar daerah produksi. Yup.. bisa ditebak, akan banyak distributor-distributor dadakan yang menekan harga gula petani ke bawah untuk dijual dengan harga setinggi-tingginya demi mengejar keuntungan sesaat. Pada saat itu, akan jadi kenyataan pameo yang mengatakan, "berapa banyak semut mati di lumbung gula". Nah di poin ini, investor mempunyai peran yang krusial dalam meng-counter attack "distarter" itu, agar tidak terjadi atau dalam kata lain mereka meminimalisir dampak buruk dari membludaknya barang di pasaran pada saat panen yang berakibat pada rendahnya harga gula. Bahkan bisa di bawah ongkos produksi sebagaimana pendapat Ibnu Khaldun (lahir tanggal 27 Mei 1332 / 732H, wafat 19 Maret 1406 / 808 H) "Bila suatu barang langka dan banyak diminta, maka harganya tinggi. Jika suatu barang berlimpah, harganya rendah".
Investor berperan dalam menyerap gula petani untuk distok pada masa-masa panen dan dikeluarkan (baca: disuplai) secara bertahap sesuai dengan "kebutuhan" demand (permintaan) pasar. Mereka adalah kran yang bisa suatu saat dibuka dan suatu saat ditutup pada stok gula berlebihan. Dampak positifnya adalah kamuflase stok gula. Sebenarnya gula itu sekarang banyak sekali, namun karena peran mereka, seakan gula itu dalam posisi tidak banyak alias tidak banjir. Lagi-lagi, petani diuntungkan. Gula yang bisa saja terjun bebas ke posisi di bawah Rp 7 ribu-an, namun bisa stabil di posisi delapan ribuan.
Investor adalah pendulum equilibrium. Sang pencari keseimbangan. Dengan kita meratifikasi perdagangan bebas, maka pemerintah kurang legitimasi dalam mengontrol harga. Harga bahan pokok di luar pulau Jawa cenderung lebih tinggi. Disparitas yang tinggi ini dilihat (perbedaan) yang tinggi ini dilihat oleh investor sebagai sarana yang menguntungkan untuk membuka kran gula yang menumpuk di gudang-gudang pabrik gula di pulau Jawa.
Masih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun yang lalu, harga dasar gula ditentukan pada Rp 6 ribu-an, namun laku Rp 8 ribu lebih. Seringkali kita hanya menyebut faktor-faktor semacam gula internasional, Dollar Amerika, harga BBM atau karena gula rafinasi diawasi dan lain-lain. Tapi kita lupa bahwa para investor itu juga mempunyai peran langsung meski cara kerja mereka "invisible" atau tak terlihat. Mereka mencari pasar interlokal (kalau diperlukan), demi merengkut "peak matured price" harga yang sempurna untuk gula kita, sehingga keuntungan petani bisa berlipat, walau masa panen sekalipun. Proses ini mengerucut kepada kondisi "simbiosis mutualisme", yakni sama-sama saling membutuhkan dan sama-sama saling memberikan keuntungan.
Namun demikian, tidak dimaksudkan bahwa kita harus bekerjasama untuk menaikkan harga setinggi-tingginya dengan menutup kran stok gula itu, sehingga harga menjadi tidak terjangkau masyarakat. Karena ini bertentangan dengan prinsip Islam yang bersumber dari Rasulullah SAW, bahwa siapa pun yang menimbun bahan pangan selama 40 hari, sedangkan orang sekitar dalam kekurangan, maka Allah SWT berlepas diri dari orang seperti itu.
Maksud tulisan sederhana ini hanyalah sebagai seruan moral bagi pembaca agar kita selalu melihat kepada obyek apapun secara komprehensif, balanching (seimbang), dan proporsional, dalam hal ini adalah kepada investor, karena investor pun juga manusia seperti kita.
Referensi: Al-Mukaddimah Ibnu Khaldun
*) Penulis adalah petani tebu wilayah Ngoro sejak tahun 2008
+ comments + 1 comments
sudah saatnya petani gula di lindungi dan diperhatikan kesejahteraannya oleh pemerintah, hentikan import gula saat panen raya tiba.
Post a Comment